JAKARTA, KOMPAS.com
- Nasib naas menimpa M Rivky Arbianto. Pemuda 24 tahun itu nekat mengakhiri
hidupnya dengan gantung diri di ruangan dapur rumahnya. Diduga kuat, aksi
nekatnya tersebut dilakukan akibat tekanan hidup yang berat karena sakit
paru-parunya yang tak kunjung sembuh.
Petugas piket SPK
Polsektro Duren Sawit, Aiptu Zainal mengungkapkan, korban gantung diri di
ruangan dapur rumahnya, Jalan Komplek Guru RT 13 RW 04 Nomor 13, Klender,
Jakarta Timur. Korban ditemukan pukul 00.00 WIB.
"Korban ini nekat
dengan mengantungkan diri menggunakan kabel setrikaan di dapur rumahnya.
Keluarga yang pertama menemukan lapor. Kami langsung datang dan melakukan
identifikasi," ujarnya saat dihubungi wartawan, Selasa (31/7/2012).
Zainal mengatakan,
berdasarkan keterangan yang dihimpun dari pihak keluarga, korban nekat
mengakhiri hidupnya lantaran sakit kronis pada paru-parunya yang tak kunjung
sembuh. Korban juga pernah mengancam akan bunuh diri kepada pihak keluarga.
"Korban sudah
sakit paru-paru sejak satu tahun lalu. Minggu lalu korban juga baru selesai
dirawat dari rumah sakit," lanjutnya.
Pihak kepolisian
memastikan, musibah tersebut murni gantung diri. Pasalnya, pihak kepolisian
juga tak menemukan tanda-tanda penganiayaan. Oleh sebab itu, pihak keluarga pun
enggan mengotopsi korban dan memilih memakamkan korban sendiri
Kita dapat
menganalisis kasus bunuh diri tersebut ke dalam empat tipe bunuh diri yang di
kemukakan oleh Durkheim,
1. Bunuh diri Egoistis, suatu
tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh seseorang, karena merasa kepentingannya
sendiri lebih besar daripada kepentingan kesatuan sosialnya. Ada faktor paksaan
sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu menganggap
bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial. Disini individu merasa
sendirian, memiliki hidup yang malang dan merasa beban hidupnya terlalu berat
(permasalahan diri), misalnya saja patah hati.
2. Bunuh diri Altruistis,
terjadi ketika integrasi sosial yang sangat kuat, dimana dapat dikatakan
individu terpaksa melakukan bunuh diri. Ada keyakinan akan kehidupan yang lebih
baik nantinya, keyakinan perorangan tapi dilakukan secara bersama-sama karena memiliki
paham yang sama, satu keyakinan dan ada yang diperjuangkan. Misalnya, bunuh
diri di Jepang (Harakiri).
3.
Bunuh diri Anomic, tidak
memiliki pegangan hidup. Terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu.
Gangguan tersebut akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya control
terhadap nafsu mereka. Bunuh diri ini terjadi ketika menempatkan orang dalam
situasi norma lama tidak berlaku lagi, sementara norma baru belum di terima
seutuhnya. Misalnya saja, bunuh diri dalam situasi depresi ekonomi sperti
pabrik yang tutup sehingga banyak tenaga kerja yang kehilangan pekerjaannya.
4. Bunuh diri Fatalistis,
terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang mau
melakuakn bunuh diri ini seperti seseorang yang masa depannya telah tertutup
nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas, misalnya perbudakan.
Bunuh diri yang
terjadi pada kasus tersebut disebabkan karena faktor dari dalam diri sendiri
dan termasuk tipe bunuh diri egoistis. Dimana ia merasa sudah tidak berarti
lagi untuk hidup, tidak dapat menanggung beban penyakit yang di deritanya,
sehingga ia beranggapan bahwa bunuh diri lebih baik daripada harus hidup dengan
penyakit yang tak kunjung sembuh. Dia merasa bahwa hidupnya sangat malang, dan
tidak memiliki arti bagi orang lain.
Sumber : Siahaan M.
Hotman. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah
dan Teori Sosiologi. Jakarta : Erlangga.