Pages

Kamis, 27 Desember 2012

Egois Penyebab Bunuh Diri

JAKARTA, KOMPAS.com - Nasib naas menimpa M Rivky Arbianto. Pemuda 24 tahun itu nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di ruangan dapur rumahnya. Diduga kuat, aksi nekatnya tersebut dilakukan akibat tekanan hidup yang berat karena sakit paru-parunya yang tak kunjung sembuh.
Petugas piket SPK Polsektro Duren Sawit, Aiptu Zainal mengungkapkan, korban gantung diri di ruangan dapur rumahnya, Jalan Komplek Guru RT 13 RW 04 Nomor 13, Klender, Jakarta Timur. Korban ditemukan pukul 00.00 WIB.
"Korban ini nekat dengan mengantungkan diri menggunakan kabel setrikaan di dapur rumahnya. Keluarga yang pertama menemukan lapor. Kami langsung datang dan melakukan identifikasi," ujarnya saat dihubungi wartawan, Selasa (31/7/2012).
Zainal mengatakan, berdasarkan keterangan yang dihimpun dari pihak keluarga, korban nekat mengakhiri hidupnya lantaran sakit kronis pada paru-parunya yang tak kunjung sembuh. Korban juga pernah mengancam akan bunuh diri kepada pihak keluarga.
"Korban sudah sakit paru-paru sejak satu tahun lalu. Minggu lalu korban juga baru selesai dirawat dari rumah sakit," lanjutnya.
Pihak kepolisian memastikan, musibah tersebut murni gantung diri. Pasalnya, pihak kepolisian juga tak menemukan tanda-tanda penganiayaan. Oleh sebab itu, pihak keluarga pun enggan mengotopsi korban dan memilih memakamkan korban sendiri

Kita dapat menganalisis kasus bunuh diri tersebut ke dalam empat tipe bunuh diri yang di kemukakan oleh Durkheim,
    1.  Bunuh diri Egoistis, suatu tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh seseorang, karena merasa kepentingannya sendiri lebih besar daripada kepentingan kesatuan sosialnya. Ada faktor paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial. Disini individu merasa sendirian, memiliki hidup yang malang dan merasa beban hidupnya terlalu berat (permasalahan diri), misalnya saja patah hati.
2.   Bunuh diri Altruistis, terjadi ketika integrasi sosial yang sangat kuat, dimana dapat dikatakan individu terpaksa melakukan bunuh diri. Ada keyakinan akan kehidupan yang lebih baik nantinya, keyakinan perorangan tapi dilakukan secara bersama-sama karena memiliki paham yang sama, satu keyakinan dan ada yang diperjuangkan. Misalnya, bunuh diri di Jepang (Harakiri).
3.      Bunuh diri Anomic, tidak memiliki pegangan hidup. Terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan tersebut akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya control terhadap nafsu mereka. Bunuh diri ini terjadi ketika menempatkan orang dalam situasi norma lama tidak berlaku lagi, sementara norma baru belum di terima seutuhnya. Misalnya saja, bunuh diri dalam situasi depresi ekonomi sperti pabrik yang tutup sehingga banyak tenaga kerja yang kehilangan pekerjaannya.
4.   Bunuh diri Fatalistis, terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang mau melakuakn bunuh diri ini seperti seseorang yang masa depannya telah tertutup nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas, misalnya perbudakan.
Bunuh diri yang terjadi pada kasus tersebut disebabkan karena faktor dari dalam diri sendiri dan termasuk tipe bunuh diri egoistis. Dimana ia merasa sudah tidak berarti lagi untuk hidup, tidak dapat menanggung beban penyakit yang di deritanya, sehingga ia beranggapan bahwa bunuh diri lebih baik daripada harus hidup dengan penyakit yang tak kunjung sembuh. Dia merasa bahwa hidupnya sangat malang, dan tidak memiliki arti bagi orang lain.
Sumber : Siahaan M. Hotman. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta : Erlangga.


Hukum Siklus, Pengulangan yang Telah Lalu


Segala sesuatu yang terjadi saat ini, merupakan modifikasi yang berasal dari masa lalu.
Hal itu dapat menjelaskan fenomena yang terjadi saat ini, misalnya dalam segi pakaian. Kita lihat model pakaian wanita saat ini mengikuti mode pakaian zaman dulu, sama – sama berasal dari bahan broklat,  bedanya untuk saat ini model nya bervariasi dengan motif yang beraneka ragam.
 Herbert Spencer, lahir di Derby, 27 April 1820 – meninggal di Brighton, 8 Desember 1903 pada umur 83 tahun. Dia adalah seorang filsuf Inggris dan seorang pemikir  teori liberal klasik terkemuka. Meskipun kebanyakan karya yang ditulisnya berisi tentang teori politik dan menekankan pada "keuntungan akan kemurahan hati", dia lebih dikenal sebagai bapak Darwinisme sosial. Spencer seringkali menganalisis masyarakat sebagai sistem evolusi, ia juga menjelaskan definisi tentang "hukum rimba" dalam ilmu sosial. Dia berkontribusi terhadap berbagai macam subyek, termasuk etnis, metafisika, agama, politik, retorik, biologi dan psikologi. Spencer saat ini dikritik sebagai contoh sempurna untuk scientism atau paham ilmiah, sementara banyak orang yang kagum padanya di saat ia masih hidup.
Menurutnya, objek sosiologi yang pokok adalah keluarga, politik, agama, pengendalian sosial dan industri. Termasuk pula asosiasi, masyarakat setempat, pembagian kerja, pelapisan sosial, sosiologi pengetahuan dan ilmu pengetahuan, serta penelitian terhadap kesenian dan keindahan. Pada tahun 1879 ia mengetengahkan sebuah teori tentang Evolusi Sosial yang hingga kini masih dianut walaupun di sana sini ada perubahan. Ia juga menerapkan secara analog (kesamaan fungsi) dengan teori evolusi karya Charles Darwin (yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera) terhadap masyarakat manusia. Ia yakin bahwa masyarakat mengalami evolusi dari masyarakat primitif ke masyarakat industri. Herbert Spencer memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
Karya Spencer yang utama :
1.      Syntific Philoshopy
Yaitu menyatukan atau menggabungkan beberapa ilmu menjadi satu yang meliputi evolusi biologi, sosiologi dan etika.
Titik dasar dari karya Spencer berdasar pada  :
·        Mengapa hal itu ada?
·        Mengapa hal itu berubah?

Tiga garis besar teori umum Spencer adalah :
ü  Adanya materi yg tidak terusakkan
ü  Adanya kesinambungangerak
ü  Adanya tenaga kekuatan yang terus  menerus
Kebenaran Universal Spencer
§  Kesatuan Hukum, kesinambungan antara kekuatan-kekuatan yang tidak pernah muncul dengan sia-sia dan tanpa akhir
§  Kekuatan tersebut tidak pernah musnah, namun di transformasikan ke dalam bentuk  persamaan lain
§  Segala sesuatu  yang  bergerak sepanjang  garis, setidak-tidaknya akan di lindungi oleh suatu kekuatan yang lain
§  Adanya suatu irama daripada gerakan (gerakan alternatif)
Dalam proses evolusioner terdapat faktor-faktor yang berbeda (ketidakstabilan hubungan di masyarakat), harus ada yang dapat menyatukan kombinasi ketidaksamaan tersebut.

Sumber : Siahaan M. Hotman. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta : Erlangga.



Kamis, 13 Desember 2012

Tindakan Sosial Marx Weber


Weber memisahkan empat tindakan sosial di dalam sosiologinya, yaitu yang disebut dengan :    Zweck rational, yaitu suatu tindakan sosial yang ditujukkan untuk mencapai tujuan semaksimal mungkin dengan menggunakan dana daya seminimal mungkin.   
Wert rasional, yaitu tindakan sosial yang rasional, namun tetap berpeganganpada nilai-nilai absolute teretentu. Nilai-nilai ini bisa nilai etis, estetis, keagamaan atau nilai-nilai lain. 
 Effectual, yaitu tindakan sosial yang timbul karena dorongan atau motivasi yang sifatnya emosional. Contoh tindakan effectual, ledakan kemarahan seseorang atau ungkapan rasa cinta dan kasihan.
Tradisional, tindakan seseorang yang didorong dan berorientasi kepada tindakan masa lampau. Tradisi di dalam pengertian ini adalah suatu kebiasaan bertindak yang berkembang di masa lampau.
Keempat tindakan sosial ini yang menurut Weber akan mempengaruhi pola-pola hubungan sosial serta struktur sosial masyarakatnya.
Wewenang
Marx weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang di dalam hubungan manusia yang menyangkut juga kepada hubungan kekuasaan. Wewenang adalah kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota masyarakat. Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemmapuan yang dimiliki seseorang  untuk mempengaruhi yang lain tanpa menghubungkannya dengan penerimaan sosialnya yang formal.
Weber mengemukakan jenis wewenag yang disebutnya rational-legal authority sebagai bentuk hieraki wewenang yang berkembang di dalam kehidupan masyarakt modern. Wewenang ini dibangun atas legitimasi yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya. Organisasi-organisasi modern yang bersifat politis adalah tipe dari wewenang di mana keabsahan si pemegang kekuasaan untuk memberikan perintah berdasar kepada peraturan yang disepakati bersama. Eabsahan untuk membuat peraturan dan menjalankannya selalu berdasarkan konstitusi yang ditafsirkan secara resmi. Para “official” adalah pejabat adalah pemegang kekuasaan untuk memberi perintah tetapi dia tidak pernah menggunakan kekuasaan tersebut sebagai hak pribadinya, melainkan dia menggunakan sebagai suatu institusi impersonal.
Disamping jenis wewenang yang bersifat rational-legal, terdapat juga jenis wewenang yang bersifat tradisional, yaitu jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan masyarakat tradisional. Wewenag jenis ini mengambil keabsahannya dari atas dasar tradisi yang dianggap suci. Jenis wewenang ini dapat dibedakan ke dalam jenis wewenang yang disebut dengan patriarkhalisme dan patriomonalisme. Patriakhalisme adalah jenis wewenang di mana kekuasaan berdasarkan senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Contoh dari pathriakhalisme misalnya, adalah wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah tangga, anak tertua terhadap anggota keluarga yang lebih muda, dll. Sedangkan patriomonalisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat-kerabatnya atau dengan orang-orang terdekat yang memiliki loyalitas pribadi kepadanya. Si pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan.
Ciri khas dari wewenang baik patriakhalisme maupun patrimonalisme adalah adanya system norma yang dianggap keramat yang tidak dapat di ganggu gugat. Si pemegang kekuasaan dalam merumuskan keputusan-keputusannya atas dasar pertimbangan pribadinya, dan bukan atas dasar pertimbangan ‘fungsinya’.
Weber juga memperkenalkan jenis wewenang lain yaitu wewenang kharismatik. Wewenang ini dimiliki seseorang karena kualitas yang ‘luar biasa’ yang dimilikinya. Wewenang kharismatis adalah penguasaan atas diri orang-orang, dimana pihak si tertakluk menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut.
Masalah fundamental dalam studi weber sesungguhnya mempersoalkan hubungan antara gejala agama dengan gejala ekonomi. Dia mempersoalkan hal ini mulai dari mengajukan beberapa pertanyaan dasar tentang : Apakah sesungguhnya gejala ekonomi dipengaruhi oleh gejala agama?
Jawaban yang diajukan weber terhadap pertanyaan demikian, bahwa antara gejala agama dengan gejala ekonomi sesungguhnya memiliki ketergantungan yang timbale balik. Weber mengambil factor agama sebagai salah satu variable dan mencoba menunjukkan pengaruh factor agama terhadap gejala ekonomi dan gejala-gejala sosial lainnya.
Marx weber memusatkan perhatiannya pada ‘etika ekonomi dari suatu agama’ atau apa yang disebutnya dengan wirtschafsethik untuk menemukan pengaruh agama terhadap kehidupan ekonomis. ‘Etika ekonomi dari suatu agama’ bukanlah dogma-dogma agama yang teologis tetapi sebagai bentuk totalitas dari bentuk-bentuk praktis pedoman tingkah laku yang didorong dan dikehendaki oleh agama terhadap para pemeluknya.
Demikianlah, weber memusatkan perhatiannya terhadap factor religi, dan mempelajarinya dalam enam agama yaitu Confusianisme, Hindu, Budha, Kristen, Islam, Yahudi yang kesemuanya dari agama-agama itu dipelajari wirtschaftsethik atau etika ekonomi dari masing-masing agama tersebut, dengan akibat-akibat yang ditimbulkannya terhadap organisasi dan tingkah laku dari para pemeluk agama-agama tersebut.